Foto kredit: stoessel.ch
Nozibele Phylis Mali, perempuan kelahiran Transkei - bekas wilayah apartheid di Afrika Selatan - datang ke Cape Town pada tahun 1991 untuk mencari pekerjaan. Allah menganugerahkannya cahaya Islam ketika dia bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah Mehrunisa Dawood, sebuah keluarga muslim.
Waktu itu tahun 1995, Mali seperti biasanya melakukan tugas rutinnya di rumah keluarga Dawood. Saat sibuk menyapu lantai, dia mendengar suara anak lelaki keluarga itu yang bernama Shafeeq sedang melantunkan hafalan Al-Qurannya. Seketika Mali terpesona mendengarnya. Dia tidak faham ertinya, tapi lantunan ayat Al-Quran itu membuatnya merasa aneh dan ingin tahu. Diam-diam dia memerhatikan Shafeeq yang sedang duduk membaca kitab suci Al-Quran di hadapannya.
"Mengapa anak ini duduk seperti itu?" tanya Mali dalam hati. Bagi Mali pemandangan yang dia lihat sungguh indah. Keindahan yang memicu rasa ingin tahunya. Dia bertanya-tanya lagi dalam hati, "Apa yang sedang dilakukan Shafeeq? Mengapa aku begitu terpesona dengan suara yang mengalun begitu merdu?"
Sejak itu, jiwa dan fikiran Mali selalu teringat dengan apa yang dia lihat dan dia dengar hari itu. Mali kagum melihat seorang anak yang membaca Al-Quran. Dia tidak tahu apa itu Quran. Dia juga tidak tahu soal agama Islam. Tapi ketika dia melihat seorang anak membaca Quran, dan mendengar ayat-ayat suci yang dilantunkannya, Mali mengakui ada sebuah kekuatan yang besar yang meyakinkannya pada sebuah kebenaran.
"Bacaan yang dilantunkannya itu datang dari dalam hati," ujar Mali yang mulai tersentuh dengan bacaan Al-Quran.
Tapi sebenarnya, bukan cuma bacaan Al-Quran Shafeeq yang membuat hati Mali tersentuh. Dia juga mengagumi Mehrunisa Dawood sebagai seorang perempuan yang murah senyuman. "Perempuan ini, setiap pagi waktu saya datang, wajahnya selalu dihiasi senyuman," kata Mali, bahkan ketika dia melakukan kesalahan waktu bekerja, majikan perempuannya itu tetap bersikap baik, sehingga Mali tak khuatir kemungkinan akan mendapat hukuman kerana melakukan kesalahan waktu bekerja.
Mali menceritakan, sikap dan perlakuan Mehrunisa Dawood sangat berbeza dengan sikap majikannya terdahulu, meskipun sama-sama Muslim. Di keluarga Mehrunisa, Mali tidak merasa diperlakukan semata-mata hanya sebagai pembantu atau antara majikan dengan pekerjanya. Tapi dia merasakan hubungan yang lebih hangat dan kekeluargaan. Ini yang membuat Mali merasa bahagia bahkan terharu.
Suatu siang, Mali memerhatikan Mehrunisa yang sedang berwudhu' lalu solat dengan mengenakan baju panjang dan jilbab. Saat itu, Mali belum tahu soal wudhu' dan kehairanan melihat apa yang dilakukan majikan perempuannya. Mali ingin bertanya tapi agak takut. Semakin lama dia memerhatikan kebiasaan keluarga Mehrunisa, pertanyaan dalam kepalanya makin menggunung.
Mehrunisa ternyata merasakan keingin-tahuan Mali. Dia tahu, Mali yang lahir dari keluarga Gereja Methodis, sedang memerlukan bimbingan spiritual. Mehrunisa lalu mengajak Mali diskusi soal agama, gereja dan keyakinan agama Mali. Pembicaraan itu tidak membuat Mali puas. Mehrunisa menasihati Mali untuk berdoa.
"Ketika kamu keluar dari pintu ini, katakanlah pada Tuhan 'Oh, Tuhan, tolonglah aku, tunjukkan aku kebenaran'. Bacalah doa itu waktu kamu berjalan sampai tiba di rumahmu, dan Tuhan akan menunjukkan jalan bagimu, " ujar Mali meniru perkataan Mehrunisaa ketika itu.
Beberapa bulan kemudian, Mehrunisa mengajak Mali ke pejabat Gerakan Dakwah Islam. Seorang imam di pejabat tersebut menjelaskan tentang Islam pada Mali yang tanpa menunda-nunda waktu lagi memutuskan untuk memeluk Islam. Waktu itu tahun 2005, waktu Mali mengucapkan dua kalimah syahadah menjadi saat yang mengharukan. Setelah rasmi masuk Islam, Mali menggunakan nama Islamnya Fatima.
Setelah masuk Islam, Fatima Mali merasakan perubahan yang lebih dalam kehidupannya. Dia yang biasanya hanya memikirkan keperluannya sendiri, menjadi lebih peka pada orang lain yang memerlukan. Tapi, dia juga harus menerima kenyataan pahit tidak semua orang senang dengan pilihannya menjadi seorang muslim.
Selama bekerja di Cape Town, Fatima hidup menumpang di rumah saudara lelakinya bernama Douglas. Saudara lelakinya itu tidak pernah mempermasalahkan perpindahan agama Fatima dan tetap bersedia menampung Fatima di rumahnya. Yang menjadi batu sandungan adalah isteri Douglas, yang menentang keislaman Fatima dan secara terbuka menunjukkan kebenciannya pada Fatima.
Meskipun hidupnya semakin berat kerana sikap iparnya itu, Fatima berusaha sabar dan bertahan. Tapi lama kelamaan, Fatima tak kuat menghadapi sikap iparnya dan memilih meninggalkan rumah. Dia kemudian menumpang di rumah seorang teman perempuannya yang muslim, bernama Nadia. Dalam persekitarannya yang baru, Fatima bersama Nadia membantu seorang tetangga dan dua anaknya yang terlantar kerana ibunya seorang pemabuk. Ayah dua anak itu sangat kagum dengan sikap Fatima dan Nadia dan membuatnya memutuskan masuk Islam, dengan mengajak dua anaknya. Fatima merasa bahagia. Dia merasa itulah pertama kalinya dia melakukan hal baik sejak dia masuk Islam.
[kw/TTI , Era Muslim]
Tiada ulasan:
Catat Ulasan
Terima kasih :)