Pada masa lalu, tabir yang menyelimuti misteri jiwa manusia, masih sulit untuk disingkap, hingga para ilmuwan menjadi bingung kerananya. Mereka mendapatkan kesulitan untuk mengetahui hakikat dari jiwa manusia, fungsi dan mekanisme kerjanya dalam merespon dan memberikan reaksi atas berbagai masalah yang datang dari luar dirinya.
Namun dengan kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang ilmu kejiwaan (psikologi), para ilmuwan sedikit demi sedikit dapat mengetahui rahsia di sebalik misteri itu. Pada awalnya, ilmu kejiwaan menitikberatkan pada pembahasan tentang fungsi jiwa dalam memahami hubungan antara berbagai perasaan yang dialami manusia dan respon terhadap perasaan-perasaan itu dengan pengaruh yang datang dari luar dirinya.
Dalam upaya untuk mengenal lebih lanjut tentang jiwa manusia ini, para ahli jiwa dihadapkan pada berbagai pertanyaan, diantaranya: Apakah tanpa perasaan (syu‘ur) yang dimilikinya, indera manusia boleh merespon semua pengaruh yang datang dari luar dirinya (ihsaas)? Apakah perasaan dan alat indera itu saling berkaitan dan saling melakukan intervensi? Dalam memberikan reaksi atas pengaruh yang datang dari luar dirinya, apakah jiwa yang berperanan atau sistem saraf?
Dengan kemajuan yang dicapai dalam bidang ilmu kejiwaan ini, misteri tentang jiwa manusia ini sedikit terbongkar. Berdasarkan penelitian, disimpulkan bahawa bahagian tubuh yang mengawal perasaan manusia dan kehendak untuk merespon pengaruh eksternal dan internal yang menimpa diri manusia, adalah jiwa yang dimilikinya.
Hal itu terjadi berdasarkan instuisi (pengetahuan) yang terdapat di dalam dasar jiwanya. Dengan adanya pengetahuan ini, jiwa mempunyai kemampuan untuk mengambil keputusan terhadap segala hal yang menimpa dirinya.
Namun kemampuan untuk mengambil keputusan ini, antara satu individu dengan individu yang lainnya berbeza, bergantung kepada pengetahuan yang terdapat di dasar jiwa masing-masing dan kecepatan dirinya dalam mensintesiskan pengetahuan itu dengan pengaruh yang datang kepadanya. Termasuk juga kekuatan sistem saraf yang dimilikinya.
Berdasarkan hal di atas, kita dapat memahami hubungan antara jiwa dan sistem saraf serta fungsi dari berbagai indera yang dimiliki manusia, sebagai hubungan perpaduan yang menakjubkan. Di mana sel-sel saraf berfungsi untuk menghantarkan pengaruh yang datang dari luar, untuk dikelola dan difahami oleh otak dengan bantuan pengetahuan yang dimiliki jiwa, sehingga respon yang muncul dalam menyikapi pengaruh yang datang dari luar tersebut sesuai dengan yang diharapkan dan dapat dilaksanakan oleh alat inderanya.
Hal ini sesuai dengan yang digambarkan oleh Alquran sejak 14 abad yang lalu, di dalam ayat yang berkaitan dengan jiwa manusia. Allah S.w.t berfirman dalam surah Asy-Syams ayat 7 dan 8: "Dan jiwa serta penyempurnaannya (penciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya."
Ayat di atas memberikan isyarat, bahawa jiwa manusia memiliki kemampuan untuk memilih berbagai kemungkinan dari keputusan yang akan diambilnya, baik ia bersifat baik atau jahat. Ini didasarkan atas ilham yang diberikan Allah S.w.t kepadanya dalam bentuk pengetahuan (intuisi) yang memungkinkan dirinya menghadapi berbagai masalah yang dihadapinya.
Dalam ayat di atas juga, Allah S.w.t menjelaskan bahawa jiwa manusia telah disempurnakan-Nya. Dan kesempurnaan yang dimaksud dalam ayat ini, adalah kebebasan mutlak yang dimiliki jiwa untuk memilih apa yang dikehendakinya, di mana ia tidak dapat dipaksa untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keinginannya.
Dalam ayat 53 dari surah Yusuf, Allah S.w.t berfirman: "Kerana sesungguhnya jiwa itu selalu menyuruh kepada kejahatan."
Ayat di atas secara jelas menyebutkan bahawa jiwa mempunyai kebebasan untuk memilih, iaitu terbukti dengan seruannya untuk melakukan kejahatan. Dan ini adalah sebahagian dari sifat-sifat dasar yang dimiliki oleh jiwa. Di bahagian lain dari Alquran yang terdapat pada surah Al-Qiyamah ayat 2, Allah S.w.t berfirman tentang sifat lain yang dimiliki jiwa: "Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)."
Penyesalan yang diderita jiwa, merupakan salah satu bentuk dari kebebasan yang dimilikinya untuk memilih berbagai kemungkinan yang dapat diambilnya. Bahkan dalam ayat lain yang terdapat dalam Al-Quran, dijelaskan bahawa jiwa boleh menjadi pendorong kepada pembunuhan yang dilakukan manusia. Allah S.w.t berfirman tentang kisah dua orang anak Nabi Adam: "Maka jiwa Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya."
Berdasarkan ayat ini, jiwa manusia boleh memiliki keinginan untuk melakukan pembunuhan. Bahkan dalam kes Qabil, jiwanya yang menggerakkan seluruh anggota tubuhnya untuk melaksanakan pembunuhan saudaranya. Dari situ, kita juga dapat menyimpulkan bahawa jiwa memiliki kebebasan dalam mengarahkan seluruh anggota tubuh untuk mengambil sikap tertentu sebagai respon dan reaksi atas pengaruh yang datang dari luar dirinya melalui berbagai alat indera yang dimilikinya.
Hal yang sama kita dapati juga dalam kisah Nabi Ya’kub yang mencela anak-anaknya, ketika mereka tiba-tiba datang pada suatu malam dan memberitahunya bahawa serigala telah memakan Yusuf, anaknya.
Mendengar itu, Nabi Ya’kub yang mengetahui bahawa anak-anaknya itu berbohong, berkata kepada mereka sebagaimana dalam firman Allah S.w.t dalam surah Yusuf ayat 18: "Sebenarnya jiwamu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu, maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku), dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan."
Dan dalam ayat 185 dari surah Ali Imran, Allah S.w.t berfirman tentang apa yang akan menimpa jiwa manusia: "Tiap-tiap (yang ber)jiwa pasti akan merasai mati."
Berdasarkan semua hal di atas, jelaslah bagi kita, bahawa jiwa memiliki hubungan dengan panca indera. Hal mana tidak diketahui oleh ilmu pengetahuan moden, kecuali beberapa dekad yang lalu.
Ketenangan jiwa
Para saintis telah banyak melakukan penelitian untuk mengetahui rahsia di sebalik perasaan senang yang dirasakan manusia di saat mereka mengambil suatu keputusan tertentu, atau yang disebut dengan ‘ketenangan’ (ithmi’naan).
Untuk maksud itu, mereka telah melakukan eksperimen melalui cara pembedahan, dengan tujuan untuk mengetahui bahagian mana dari tubuh manusia yang mempunyai peranan bagi proses ‘ketenangan’ ini. Penelitian itu, untuk sementara waktu, menyimpulkan bahawa pusat dari ‘ketenangan’ ini terdapat pada otak sebagai sentral bagi semua saraf yang berfungsi untuk mengawal semua proses penangkapan dan pengenalan isyarat yang masuk ke dalam tubuh.
Akan tetapi ketika dilakukan penelitian dengan menggunakan bukti-bukti empirikal, analisa darah dan hitungan besaran detik jantung, kemudian dilakukan perbandingan detik jantung dalam berbagai kondisi berikut: 1) Ketika manusia diam dan tidak berfikir untuk mengambil keputusan apa pun. 2) Ketika dia mengambil keputusan dan merasa senang kerananya. 3) Ketika dia mengambil keputusan dan merasakan kekhuatiran atas akibat yang akan diterimanya. 4) Ketika dia mengambil keputusan di bawah tekanan jiwanya yang tidak normal.
Penelitian empirikal dan perbandingan antara berbagai kondisi di atas, menunjukkan adanya perbezaan kondisi hati dilihat dari sudut fisiologi. Berdasarkan penelitian di atas yang diperkuat juga oleh hasil pengamatan kondisi biologi dari hati ketika dia merasakan kepuasan atas peristiwa yang menimpanya, para saintis meyakini bahawa hatilah yang mempunyai tanggung jawab terbesar atas timbulnya perasaan tenang dan senang yang dirasakan manusia. Meskipun mekanisme timbulnya perasaan tenang itu, belum diketahui secara pasti oleh para ahli.
Kerumitan penelitian, seperti yang digambarkan di atas, apabila kita bandingkan dengan apa yang kita dapatkan dalam Alquran, maka kita dapati bahawa Alquran dengan ringkas namun padat, sejak 14 abad yang lalu telah menyatakan hal yang sama dengan hasil penelitian di atas. Dalam surah Ar-Ra’d ayat 28, Allah S.w.t berfirman: "Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah, hati menjadi tenteram."
Sebagaimana dalam surah Al-Baqarah ayat 260, Allah S.w.t berfirman: "Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah padaku, bagaimana Engkau menghidupkan orang mati?" Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu?" Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)."
Oleh: DR Abdul Basith Jamal & DR Daliya Shadiq Jamal
[Ensiklopedia Petunjuk Sains dalam Alquran dan Sunnah , republika.co.id]
Tiada ulasan:
Catat Ulasan
Terima kasih :)